Minggu, 30 Mei 2010

MEMAHAMI ISLAM DENGAN BENAR

PENDAHULUAN

Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman dalam surat QS Al-Maidah 03,
Artinya: “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikamat-Ku dan telah Ku ridhai islam sebagai agamamu.”

Ibnu Katsir dalam mengomentari ayat ini mengatakan, bahwa ini (islam) adalah nikmat terbesar Allah ‘Azza wa Jalla atas ummat ini, dimana Allah ‘Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini untuk mereka. Maka mereka tidak lagi membutuhkan agama lagi selain islam dan kepada nabi selain Rasulullah saw. Oleh karena itu Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan Muhammad saw sebagai penutup para nabi dan mengutus beliau saw kepada manusia dan jin. Maka tidak ada lagi penghalalan kecuali apa-apa yang telah beliau halalkan, dan tidak ada lagi pengharaman kecuali apa-apa yang telah beliau saw haramkan, dan tidak ada lagi yang merupakan bagian dari agama kecuali dengan apa-apa yang beliau syari’atkan. Semua yang beliau saw sampaikan adalah benar dan tidak ada kedustaan sedikitpun.

Dengan ayat ini pula Allah ‘Azza wa Jalla telah menyempurnakan iman seseorang mukmin sehingga mereka tidak lagi membutuhkan penambahan atau pengurangan terhadap syari’at agama ini selamanya.

PEMBAHASAN

Realita Yang Kita Hadapi

Pada realitanya, banyak sekali orang yang mengaku ber-ittiba’ (mengikuti) dan memahami Al Quran dan hadits. Sebagaimana para filosof dan orang-orang sufi mengatakan, “Kami adalah orang yang ber-ittiba’ terhadap Al Quran dan hadits dan memahaminya.” Para pengikut filsafat memang mengikuti Al Quran dan hadits, akan tetapi mereka menjadikan nash-nash Al-Qur’an dan hadits tunduk pada tuntutan akal mereka. Dengan demikian mereka sebenarnya telah meninggalkan Al Quran dan hadits dan menjadikan akal mereka sebagai Tuhan. Para pengikut sufi juga mengambil Al Quran dan hadits, namun mereka menjadikan nash-nash keduanya tunduk kepada perasaan mereka. Dengan demikian mereka pun meninggalkan Al Quran dan hadits dan menjadikan perasaan mereka sebagai Tuhan[1].

Kedua pemahaman tersebut merupakan contoh bahwa perpecahan telah terjadi pada umat Islam menjadi bergolong-golong. Mengapa umat Islam bisa berpecah belah? Tidak lain hal ini disebabkan manusia bersandar pada dirinya dalam memahami Al Quran dan hadits. Namun mereka tidak menyadari pemikiran manusia berbeda-beda dan tidak seragam. Di samping itu, kemampuan manusia dalam memahami Al Quran dan hadits sangat terbatas. Tidak ada satu akal pun yang sempurna, demikian juga tidak ada seorang pun yang terlepas dari kesalahan. Sehingga jadilah manusia berpecah-belah sesuai dengan pemikiran mereka masing-masing.

Semua pemahaman dari golongan-golongan tersebut salah adanya selama meraka masih berpegang pada hawa nafsu yang buruk dalam memahami Al Quran dan hadits, kecuali orang-orang yang Allah berikan petunjuk. Allah mengancam penyelewengan mereka terhadap Al Quran dan hadits dengan neraka. Sebagaimana sabda Nabi “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian dari kalangan ahlul kitab terpecah menjadi 72 golongan dan umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan. 72 golongan di dalam neraka dan 1 golongan berada di surga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimi, Ath Thabroni, dll.)

Ash Shan’ani rahimahullah berkata, “Penyebutan bilangan dalam hadits itu bukan untuk menjelaskan banyaknya orang yang celaka dan merugi, akan tetapi untuk menjelaskan betapa luas jalan-jalan menuju kesesatan serta betapa banyak cabang-cabangnya, sedangakan jalan menuju kebenaran hanya satu[2].”

Dan orang-orang yang berpecah-belah karena memahami Al Quran dan hadits dengan hawa nafsu mereka yang menyimpang adalah teman-teman setan yang mengikuti jalan kesesatan.

Dari Ibnu Mas’ud berkata, “Pada suatu hari Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassalam membuat sebuah garis lurus dan bersabda: ‘Ini adalah jalan Allah.’ Kemudian beliau membuat garis-garis lain di kanan kirinya, dan bersabda: ‘Ini jalan-jalan lain dan pada setiap jalan ini terdapat setan yang menyeru ke jalan-jalan tersebut.’ Beliau lalu membaca (firman Allah ta’ala):

Artinya: “Dan sesungguhnya inilah jalanKu yang lurus. Oleh karena itu, ikutilah. Janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain yang akan memecah belah kamu dari jalanNya.’” (QS. Al An’am 153)

Kalau hal ini dipegang oleh seorang muslim, niscaya tidak akan muncul berbagai bid’ah dan perpecahan dalam agama ini yang menyebabkan kita memahami islam tidak seperti apa yang dikehendaki oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan RasulNya saw. Selanjutnya akan muncul pertanyaan, bagamana manhaj (metode) dalam mempelajari, memahami dan mengamalkan Islam secara benar? Jawabannya adalah jika manhaj atau metode yang kita tempuh sesuai dengan hal-hal berikut ini:[3]

A. Kitabullah/Al-Qur’anul Karim

Firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat Al-An’am: 155

Artinya: “Dan Al-Qur’an ini adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kamu diberi rahmat.”


Sabda Rasulullah: “Sesungguhnya aku tinggalkan bagimu dua perkara, salah satunya adalah Kitabullah (Al-Qur’an) yang merupakan tali Allah ‘Azza wa Jalla. barang siapa yang mengikutinya maka ia berada di atas hidayah dan barang siapa ynag meninggalkannya berarti ia dalam kesesatan.” (HR. Muslim). Maka golongan yang pemahamannya dan amaliyahnya benar ialah yang senantiasa mendasarkan diri kepada Al-Qur’an . dan mereka juga tidak pernah melakukan penetangan terhadap Al-qur’an baik dengan dalil logika, perasaan, perkataan Syaikh, akal, kasyaf (perasaan dapat melihat sesuatu di luar kemampuan manusia biasa dalam alam ghaib,pent),kata hati dan yang serupa dengannya.

B. As-Sunnah Yang Shahih dari Rasulullah Saw

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam memahami dan mengamalkan Al-qur’an kita memerlukan As-Sunnah yang berisi penjelasan terhadap ayat-ayat yang bersifat global. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : (QS. An-Nahl: 44)

Artinya: “Dan kami telah menurunkan kepadamu Az-zikr (al-qur’an), agar kamu (Muhammad) menerangkan kepada ummat Manusia terhadap apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka memikirkan”

Pada hakekatnya segala sesuatu yang diucapkan Rasulullah saw juga merupakan wahyu yang diturunkan Allah ‘Azza wa Jalla sehingga wajib bagi kita untuk mentaati segala perintah beliau saw dan menjauhi larangannya.[4]

Mentaati Rasulullah saw berarti mentaati Allah ‘Azza wa Jalla. Hal ini sesuai dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla: “Barang siapa yang mentaati rasul, maka sesunguhnya ia telah mentaati Allah ‘Azza wa Jalla. Dan barang siapa yang berpaling dari (ketaatan itu), maka kami tidak akan mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (Qs. An-Nisa: 80). Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman: “apa yang diberikan rasul kepaamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah” (Qs. Al-Hasyr: 7).

C. Atsar (jejak) Para Sahabat

Para sahabat adalah orang-orang yang mendapat didikan langsung dari Rasulullah saw. Mereka yang lebih tahu tentang sebab-sebab turunnya ayat tersebut.[5] Tidak heran bila Rasulullah saw menobatkan mereka sebagai generasi terbaik sebagaiman sabda beliau: ”sebaik-baik Manusia adalah generasiku (para sahabatku)”. (HR. Bukhari-Muslim).

Allah ‘Azza wa Jalla juga telah memberikan keridhaan-Nya ‘Azza wa Jalla kepada mereka sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla, dalam surah At-Taubah: 100.

Artinya: ”Orang-orang yang dahulu lagi pertama-tama masuk islam dari kalangan muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah janjikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya. Mereka kekal didalamnya selama-lamanya itulah kemenangan yang besar”.

Jika Allah ‘Azza wa Jalla sudah ridha kepada mereka, pasti mereka adalah orang-orang yang benar dan selamat. Maka jika kita ingin selamat, kita juga harus mengikuti mereka dalam setiap sisi kehidupan kita, baik dalam hal aqidah, ahlaq, ibadah maupun muamalah.

Beliau saw juga memerintahkan: “barang siapa yang hidup diantara kalian sepeninggalku, maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin setelahku. Peganglah ia erat-erat dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu” (HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

D. Atsar (Jejak) Para Tabiin Dan Tabi’ut Tabi’in

Tabi’in adalah murid para sahabat, sedangkan tabi’ut tabi’in adalah murid para tabi’in. mereka ini bersama sahabat dikatakan sebagai tiga geneasi terbaik. Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik Manusia adalah generasiku(sahabatku) kemudian yang datang setelah mereka (tabi’in), kemudian yang datang setalah mereka (tabi’ut tabi’in). (HR. Bukhari-Muslim)”. Tabiin dan tabi’ut tabi’in yang shalih dan utama tidak pernah mengajarkan dan menganjurkan memahami dan mengamalkan islam melainkan apa-apa yang sudah paten dari Al-qur’an dan sunnah Nabi, dengan tanpa menambah dan mengurangi.[6]

KESIMPULAN

Dari apa-apa yang telah diuraikan secara ringkas tadi, akhirnya kita mendapatkan jawaban sekaligus solusi dari pertanyaan: kenapa dalam islam terdapat banyak golongan atau faham yang masing-masing mereka mengaku berpedoman pada Al-qur’an dan sunnah dengan hawa nafsu atau logika dan perasaannya sendiri-sendiri. Dan solusi dari semua ini adalah mengembalikan lagi pemahaman islam kita pada apa-apa yang difahami oleh salafus-shalih, yaitu tiga generasi prtama ummat ini sebagaimana yang tersebut pada hadits diatas (yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in). semoga Allah senantiasa memudahkan langkah kita untuk selalu berjalan diatas jalan mereka.


[1] Artikel, Sudah Saatnya Memahami Islam Dengan Benar. Karya Ummu Abdirrahman

[2] Artikel, Ahlussunnah Golongan Yang Selamat, Karya Abu Muazd

[3] Artikel ‘Sudah Saatnya Meniti Manhaj Salaf’ yang merupakan penjelasan Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali dalam ceramah beliau dalam Majalah As Sunnah edisi 01/Tahun XI/ 1428H/2007M

[4]Artikel ‘Mengapa Harus Salafi?’ karya Abu ‘Abdirrahman bin Toyyib As Salafi dari situs salafindo.com

[5] Ibid1

[6] Ibid2

1 komentar:

  1. sip lah coy... apa gunanya label islam tapi isinya yahudi. sungguh sangat mengenaskan

    BalasHapus

asumsi anda